Coba-coba

aduh, beneran deh gw gak ada kerjaan di rumah .. lo kira aja gw libur SATU BULAN tanpa ada jalan-jalan ke luar kota .. netep terus di Bontang, so wajar kalo gw boriiiiing
Tapi kalo dibilang borng juga gak boring-boring amat sii, soalnya kemaren gw ada banyak kegiatan, first Jumbara Cabang. Loe tau gak itu apaan ? oke, bakal gw jelasin .
Jumbara Cabang adalah kepanjangan dari Jumpa Bakti Gembira yang diadakan oleh PMI cabang kota Bontang untuk mengisi liburan pada tanggal 14-17 Juni di Bumi Perkemahan Cibodas.
Terus di sana ngapain aja sii emangnya ?
biar gw yg jawab, di sana ada banyak mata lomba, seperti PP, PK, Traveling, Yel-yel, Pensi, dan Kreasi daur ulang. Wah, seru bgt bo' :D
gw di sana mewakili PMR SMA VIDATRA, sekolah tercinta gw. Satu tim terdiri dari 20 orang, yaitu
1. Puji Dwi Lestari as ketua
2. Muh. Febrianto as wakil ketua
3. GW as anggota
4. Ayu Permatasari as anggota
5. Pranaya Astrinirmala as anggota
6. Elfarini as anggota
7. Afifah Dwi Sucianti as anggota
8. Dwi Ayu as anggota
9. Nisaul Afifah as anggota
10. Fitria Ma'ruf as anggota
11. Satya Bagus as anggota
12. Purna Satria as anggota
13. Dicky Ardian as anggota
14. Yoga Pratama as anggota
15. Amos Rante as anggota
16. Fuad as anggota
16. Derry Faturrachman as anggota
17. Mizwar as anggota
18. Khoerunnisa as anggota
19. Ade Tria as anggota
20. nah, ni satu orang siapa yaa ? gw juga lupa tuh ;p

Dan alhamdulillah, PMR SMAVI bisa mempertahankan gelar juara umum dari tahun sebelumnya, cuma yang menyedihkan, PP yang biasanya juara satu sekarang turun jadi juara tiga, tapii wajar aja sii kalo gw bilang, scara kita gak punya pelatih (pelatihnya lagi nikah kmren) tapii gak papa, yg penting kan juara umumnya xD
ini saksi bisu kegembiraan saat itu, ckck

Lanjut, setelah Jumbara, seminggu kemudian gw disibukkan dgn kegiatan NURANI .. what ? loe juga gak tau apa NURANI itu ?

NURANI itu singkatan dari Nuansa Ceris Anak Islam ... diadakan tanggal 27 Juni sampai 4 Juli. Wah, gak rugi banget deh gw ikut, meski sempat bikin pertnegkaran kecil dgn seseorang, yang penting gw happy ... di sana gw bisa bergaul sama anak kecil yang lucu-lucu, jadi gw ikutan lucu deh (loh?) Terus gw juga dapat kenalan temen2 dari SMA YPK, hha padahal waktu rapat2 gak ada yg gw kenal sama sekali ...
oya, ada anak kecil, lucu banget, namanya "rama" dia anak buahnya Tryas .. Subhanallah dia sangat pintar :D suka'nya mukul-mukul, kemaren aja kacamata gw hampir dipatahin ... tapii kalo dia lagii jadi anak manis lucuuuuuuu banget. Terus ada juga Heika, Nisa, Kayyis, Iyya, Dicky, Aqib wah pokoknya mereka semua anak kecil yang sangat lucu deh, gak percuma gw bela-belain untuk tetap ikut NURANI ... ini nih panitianya ...
Nah, sekarang gw beneran gak ada kerjaan nih di rumah, walnya gw pengen ikut jadi PanMos, tapi berhubung kakak gw mau pulang, gw lebih milih nemenin dia aja selama di Bontang, baik kan gw :D

tapi satu hal yang gw dapet selama liburan + kegiatan yang padet ini ... gw lebih suka bergaul sama anak kecil, karna mereka jujur, apa adanya, dan apa yaa ?? lucu kali yaaa .. hahaha

Nah, ini foto-foto narsis gw sama anak,, hoho

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Ginjal untuk Sosok Terindah

by Hikmahwaty


Sinar matahari yang masuk melalui celah-celah jendela kamar membangunkanku dari tidur pulasku. Sudah satu minggu lamanya aku tidak merasakan kenikmatan tidur nyenyak seperti ini. Ku lirik jam dindingku, waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Lekas ku bergegas menuju sedan kecil milikku. Ku tancap gas dan sedan ini pun segera meluncur ke tempat yang kuinginkan.


Akhirnya aku sudah berada di tempat tujuanku setelah menempuh dua jam perjalanan. Aku berlari menuju ruangan Melati 3. Aku tak mau melewatkan satu detik pun momen indah bersamanya. Ku tatapi wajahnya. Sinar wajahnya masih sama seperti dulu.


Dua minggu lamanya sudah terlewati tanpa ada perubahan. Semenjak Ibuku jatuh pingsan di kamar tidurnya. Dokter itu mengatakan bahwa ginjal Ibuku telah rusak karena penyakit batu ginjal yang dimilikinya. Selama dua minggu ini Ibu bertahan hidup dengan bantuan berbagai alat-alat kedokteran di sampingnya. Tubuhnya yang semakin kurus mengiris hatiku yang selama ini selalu mengiris hatinya.


Aku jadi teringat sewaktu aku masih duduk di bangku SD dulu. Aku selalu minta dibelikan mainan, jika tidak dipenuhi, aku pasti akan marah-marah pada Ibu dan mengejeknya pelit. Padahal selama ini semua yang kuinginkan selalu dipenuhinya.


Lamunanku terpecah ketika seorang Dokter datang untuk memeriksa keadaan Ibu.

”Keadaanya semakin parah. Kita harus segera melakukan pencangkokan ginjal untuknya!”


”Tapi Dok, apakah tidak ada cara lain yang dapat diusahakan selain itu? Lagipula bukankah persediaan ginjal kini sudah terbatas?”


”Memang benar, tapi hanya ini jalan satu-satunya jika Anda ingin Ibu Anda bisa selamat. Mengenai masalah ginjal, memang tidak mudah menemukan ginjal yang sesuai, tetapi kita bisa mencoba mengecek semua pendonor ginjal tentunya ada salah satu dari mereka yang ginjalnya cocok untuk Ibu Anda.”


Sebetulnya aku kuatir dengan operasi pencangkokan ginjal itu, tapi hanya itu satu-satunya jalan agar Ibu dapat kembali normal.


Keesokan harinya Dokter kembali menemuiku. Dia menyampaikan kabar yang selama ini tidak ingin ku dengar.

”Maaf, diantara pendonor ginjal itu kami tidak menemukan ginjal sesuai.”


”Lalu bagaimana dengan nasib Ibu saya, Dok?”


“Dengan keadaannya yang seperti ini mungkin ia hanya bisa bertahan selama kurang lebih tiga bulan lagi. Itupun dengan bantuan alat medis.”


“Apa tidak ada lagi yang bisa dilakukan?”


“Sebenarnya bisa jika Anda mau mendonorkan ginjal Anda untuk Ibu Anda.”


“Saya?”


“Ya, setelah saya cek dengan sample darah Anda, hanya ginjal Anda yang memiliki kecocokan dengan ginjal Ibu Anda.”


Rasanya jantung ini ingiin loncat dibuatnya.

“Mengapa mesti ginjalku yang cocok? Mengapa tidak ginjal kakak atau ayah saja ? Jika aku mendonorkan ginjal untuk Ibu, kehidupanku akan berubah total. Kemampuanku untuk beraktifitas jadi berkurang karena hanya memiliki satu ginjal. Mengapa ginjal Ibu yang berfungsi juga hanya satu dan harus rusak pula karena penyakitnya. Ah, merepotkan saja.” keluhku dalam hati.


“Jika Anda mau, operasi harus segera dilaksanakan mengingat keadaan Ibu Anda yang semakin memburuk.” peringat Dokter padaku.


Aku kembali dengan muka pucat pasi. Kulihat wajah sayu yang masih terbaring lemas diselimuti dengan kain bermotif garis-garis. Tubuhnya semakin kurus, tiada tatapan indah kala aku menatap wajahnya lagi. Dia hanya bisa tertidur lelap, entah kapan sadarnya. Tanpa sadar air mataku jatuh membasahi tangan lembutnya yang sedang ku genggam erat. Aku terlelap dengan linangan air mataku.


Riuh suara membangunkanku dari tidurku semalam. Kubuka jendela, ku rasakan betapa cerahnya pagi ini. Orang sibuk memulai aktifitas mereka masing-masing. Tiba-tiba suara telepon berdering.


”Fiy, ayah sudah sampai di lobi. Kamu di mana?”


“Fiya semalam menginap di sini, Ayah. Ayah langsung masuk saja ke kamar Melati nomer 3.”


Lima menit setelah telpon itu terputus Ayah sudah berada di samping Ibu. Beliau menangis melihat kondisi Ibu yang sekarang ditemuinya. Maklum, sebelumnya ia meninggalkan Ibu dengan keadaan sehat wal’afiat saja. Sebetulnya Ayahku sedang tugas di luar kota dan tidak bisa ditinggalkan, hanya saja keadaan Ibu membuatku semakin takut untuk tetap merahasiakannya dari Ayah.


”Bagaimana keadaannya? Mengapa kamu tidak segera mengabarkan Ayah?”


”Maaf Ayah, tadinya Fiya pikir kami bisa mengatasi masalah ini tanpa perlu menyusahkan Ayah tetapi keadaannya semakin memburuk. Ginjal Ibu satu-satunya telah rusak dan harus segera dilakukan pencangkokan ginjal kalau tidak maka akan terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan" jawabku.


”Mengapa masalah besar seperti ini tidak kamu kabarkan pada Ayah?”


”Maaf , Yah.”


Tampak kegeraman muka Ayah melihat tingkahku yang seolah tidak membutuhkannya. Ayah segera menghadap Dokter Abdullah untuk mengetahui keadaan Ibu. Aku hanya bisa mendampinginya dari jauh. Kemarahannya membuatku takut berada di dekatnya.


Petir terus menyambar di luar. Hujan deras yang menguyur kota ini tidak ada lelahnya untuk terus menumpahkan beban yang sudah ditampungnya. Tak jauh berbeda dengan Ayah sekarang.


Di pojok kamar, di sofa hitam yang sudah tidak empuk lagi ayah terus menyesal pada dirinya sendiri. Ginjal Ayah ternyata tidak cocok dengan Ibu. Satu-satunya harapan Ayah tinggal pada kakakku. Dugaan Ayah benar. Ginjal kakak cocok dengan ginjal Ibu saya, tetapi kondisi kakak saya yang rentan terhadap penyakit menyebabkan ginjalnya tidak layak untuk diberikan pada orang lain.


Sementara itu, Ayah belum mngetahui bahwa ginjal kulah yang benar-benar cocok untuk didonorkan kepada ibu. Aku merasa sangat berat untuk mendonorkan ginjal.

Aku kembali mengeluh, "Jika ginjal ini ku berikan, bagaimana aku bisa melakukan aktifitasku yang sangat padat. Apalagi aku masih terlalu muda untuk memiliki satu ginjal. Jalan hidup ku masih panjang. Aku ingin terus menggapai mimpi-mimpiku."


Di kursi panjang dingin aku merapatkan jaketku erat-erat. Waktu menunjukkan pukul sembilan pagi, tetapi jalanan tampak sepi. Mungkin karena hujan deras yang menguyur kota ini sejak kemarin. Dari seberang jalan ku lihat sesosok wanita yang sudah renta menggendong keranjang besar. Tubuhnya nampak basah. Dia mengais sampah-sampah dari rumah-rumah orang. Dari belakang muncul seorang anak kecil yang mencoba mengoyang-goyangkan tubuh wanita tua itu. Wanita itu segera membungkuk dan membiarkan anak kecil itu naik ke atas punggungnya. Keranjang besar miliknya dia peluk di depan dadanya. Kemudian mereka menyusuri jalan mengais rejeki yang tersisa di jalan. Melihat itu aku jadi teringat dengan kenangan bersama Ibu.


Saat itu, sewaktu masih kecil aku terkena satu kelainan. Hal itu menyebabkan aku harus segera dioperasi. Ayahku bekerja sebagai seorang pelaut yang pulang enam bulan sekali, jadi Ibu yang mengurusiku selama aku sakit. Tiga bulan lamanya dia berbaring diatas tikar yang dingin. Menemani ku yang harus terbaring lemah diatas kasur yang hangat.


Perjuangan Ibu tidak berhenti begitu saja. Setelah operasi itu aku harus tetap kontrol ke rumah sakit satu bulan sekali. Selama itu Ibu menggendongku naik satu bis ke bis yang lain, menyambung taksi satu dengan taksi yang lain. Rumah kami memang sangat jauh dari rumah sakit tempat kami berobat. Ketika aku sedang melakukan pengobatan saya menangis kesakitan. Ibu saya tampak selalu memberi saya semangat.


”Fiya kuat kok, Sayang! Ibu selalu ada di sini untuk, Fiya!” ujarnya.


Meskipun dari luar dia begitu bersemangat dan kuat melihatku menangis, ketika berbalik badan aku lihat air matanya jatuh bercucuran. Ibu berusaha untuk tampak kuat di hadapanku agar aku juga berusaha untuk kuat.


Segera ku hapus air mataku yang berlinang membasahi pipiku. Aku berlari sekencang mungkin untuk kembali menuju kamar perawatan Ibuku. Entah mengapa jantung ini berdegup kencang. Ingin rasa hati ini untuk segera memeluknya.


Aku teringat waktu itu hujan deras disertai awan yang sangat gelap. Waktu itu masih sore hari, tetapi sudah tampak seperti malam hari. Angin kencang mempermainkan jendela kamarku yang membuat rasa takut ini memuncak. Segera ku berlari mencari Ibu, tetapi kakak bilang Ibu sedang tidak ada di rumah. Berdua dengan kakak aku duduk menunggu Ibu di lantai atas. Ibu tak kunjung pulang hingga malam tiba. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku takut Ibu pergi dan tidak kembali. Kakak berusaha menenangkanku hingga aku terlelap dalam tangisku mencari Ibu.


Di tengah tidurku aku merasakan usapan jemari lembut membelah rambut tipisku. Kecupan hangat di keningku menambah kedamaian hatiku dan berkatalah Ibu,

”Ibu sudah pulang, Nak! Fiya jangan menangis lagi ya! Ibu tak akan meninggalkan Fiya sendirian di sini. Ibu janji! Selamat tidur Sayang!”.

Aku merasa tenang jika raganya sudah berada di dekatku.


Kini Ibu yang selalu memberi kedamaian padaku sedang terbaring lemah di kasur ini. Hanya aku yang dapat menjadi harapan satu-satunya untuk dia bisa bertahan hidup. Batinku menangis. Betapa kejamnya aku sebagai seorang anak yang tega melihat Ibunya tersiksa seperti ini. Ibu yang rela mengorbankan jiwa dan raganya untukku kini sedang memerlukan bantuanku. Selama ini dia yang selalu memberiku kedamaian, kehangatan dan kelembutan.


Segera kucari Dokter Abdullah untuk menyatakan kesediaanku memberikan ginjal pada Ibu.


”Apa kamu yakin? Ini operasi berbahaya, tidak boleh asal dalam menentukan pilihan!”


”Saya yakin, Dok!” jawabku tegas.


”Baiklah, kalau begitu operasi akan dilakukan esok pagi. Dan kamu harus beristirahat untuk persiapan operasi besok!”


Setelah menandatangani berbagai surat kesehatan, langkahku tercegat dengan permintaan RS untuk meminta tandatangan dari Ayah. Jika Ayah mengetahui aku yang akan mendonorkan ginjal untuk Ibu, ia pasti akan melarang.


”Tidak, kamu masih terlalu muda, Nak! Biarlah, kita masih bisa menggunakan ginjal kiriman dari RS yang lain. Semoga saja ginjal itu cocok dengan ginjal Ibumu!” ujarnya sesuai pikiranku.


”Tapi Ayah, kondisi Ibu sudah sangat tidak stabil! Nyawanya bisa tidak tertolong lagi!”


”Tidak”


”Fiya mohon Ayah, berikan satu saja kesempatan Fiya untuk membalas jasa Ayah dan Ibu. Apalagi yang dapat Fiya lakukan selain ini? Fiya mohon, Ayah!” aku terus memohon padanya hingga akhirnya raga ini tak sanggup menahan kesedihan dan terjatuh di depan Ayah.

Aku bersujud di kaki Ayah, memohon restu untuk mendonorkan ginjalku pada Ibu.


”Tapi bagaimana dengan sekolahmu nanti? Kamu tidak akan sesehat yang dulu lagi!” ujarnya kuatir.


”Ada Allah, Ayah. Dia yang memberi kesehatan untuk Fiya dan Ayah harus yakin dengan pertolongan yang akan diberikan-Nya untuk kita.” jawabku .


Akhirnya hati Ayah luluh. Aku pun segera di bawa ke kamar untuk beristirahat memprersiapkan kondisi untuk pengangkatan ginjal besok pagi. Tengah malam aku terjaga, memohon kepada Allah keselamatan untukku dan untuk Ibuku. Sekilas terlihat olehku wajah Ibuku yang kembali bersinar memanggil-manggil namaku.


Langkahku membawaku ke kamar sebelah tempat Ibuku berbaring. Ku genggam erat tangannya yang dingin, kukecup keningnya berharap ia sadar akan kehadiranku.


”Bu, ini satu-satunya jalan agar Ibu tetap bisa hidup. Cuma ini cara agar Fiya bisa melihat Ibu tersenyum lagi pada Fiya. Fiya berharap kita bisa bersama seperti dulu lagi ya, Bu!” aku tatapi wajahnya seolah-olah aku tidak dapat melihat wajahnya lagi.

Entah mengapa, rasa hatiku tak ingin jauh darinya.


Di sudut kamar, kulihat ayahku berbaring di atas tikar. Persis seperti yang Ibu lakukan sewaktu menjagaku di RS dulu. Aku perhatikan kakinya yang keras yang selalu digunakannya untuk mencari nafkah untuk kami. Tanpa sadar air mataku jatuh untuknya. Aku memeluknya dengan erat, seakan aku tak akan melihat wajahnya lagi. Malam itu kuhabiskan dengan mengenang masa-masa indahku dengan Ayah dan Ibu.


Suara nyanyian burung di pagi hari membangunkanku yang terlelap tidur di lantai berdampingan dengan Ayahku. Segera aku kembali menuju kamar tidurku karena jika Ayah tahu semalaman aku tidak beristirahat, operasi ini pasti akan di tunda.


Matahari mulai sepenggalan naik dan aku mulai disiapkan untuk operasi. Ayah, kakak serta saudara-saudaraku mengiringi kepergianku menuju ruang operasi. Sebelumnya aku meminta maaf kepada mereka atas segala kesalahan yang telah ku perbuat. Tangis mereka semakin menjadi-jadi. Ku lihat Ayah, sosok lelaki yang kuat di mataku pun kini ikut menangis. Aku berusaha mnyakinkan mereka bahwa aku akan baik saja.


Ruangan operasi begitu terasa menusuk jantung ini. Dokter segera mnyuntikkan obat bius untukku.


”Dok, jika operasi ini gagal saya boleh minta tolong satu hal tidak pada Dokter?”


”Apa itu?” ujarnya penasaran. Saya berikan sepucuk surat berwarna putih bersih ke tangannya.


”Ini surat untuk keluarga saya. Saya harap Dokter dapat memberikannya kepada mereka.” harapku padanya.


Dokter itu pun menyanggupinya dan segera menyimpan surat itu. Jarum dingin sudah di suntikkan padaku.


Aku tidak bisa melakukan apa-apa lagi sekarang. aku serasa melayang jauh entah ke mana.


"Ya Allah, jika ini adalah waktuku untuk kembali pada-Mu, kembalikanlah aku dalam keadaan khusnul khotimah."


Hanya satu harapanku, agar ginjal ini berguna untuk sosok terindahku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS